Setiap pagi jutaan orang “menyerbu” Kota Surabaya. Mereka dari pinggiran (atau istilahnya: Surabaya coret) seperti Sidoarjo, Gempol, Mojokerto, Gersik, bahkan Malang. Mungkin saja sejak subuh mereka sudah mulai menggerakkan langkahnya menuju tempat mereka bekerja. Menghabiskan waktu sekitar 0,5 – 2 jam, di tengah macet dan padatnya jalanan propinsi hingga Kota Surabaya.
Mereka kita sebut sebagai kalangan commuters, orang-orang yang pulang pergi setiap hari untuk bekerja. Yang menarik dicemati adalah apa yang mereka lakukan selama dalam perjalanan. Yaitu: mencari dan berbagi informasi dan berkomunikasi. Di Kereta Api Commuters, misalnya, penumpang umumnya menghabiskan waktu dengan mengobrol dengan sesama penumpang, membaca koran, menelpon, ber-sms, chatting, dan tak jarang traksaksi bisnispun terjadi.
Di kendaraan pribadi, perilakunya juga mirip, hanya mereka memiliki keleluasan lebih. Sehingga selain membaca koran, sembari mendengar radio atau memonitor berita pagi melalui TV mobilnya, mereka juga bisa melakukan browsing email via gadgetnya. Tampaknya ini adalah pasar yang belum tergarap secara serius oleh produsen. Padahal, saat mereka berada dalam perjalanan, adalah moment of the truth yang ideal untuk bisa memasukkan pesan ke benak mereka.
Sejatinya, kalangan commuters ini telah “aktif bekerja” sebelum mereka sampai di kantor. Ini semua tentu bisa terjadi karena ICT atau TIK yang telah menjadi perangkat vital bagi masyarakat golongan ini. Mereka melakukan social networking setiap hari.
Budaya melakukan social networking, sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala. Bahkan di masa silam, RA Kartini termasuk orang yang getol melakukan social networking dengan surat-menyurat. Ketika jaman berganti, teknologi telah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat, dan memberi kemudahan bagi kita untuk melakukan networking.
Saat ini teknologi informasi dan komunikasi memberi ruang yang sangat luas untuk mengekpresikan diri (personal expression). Tak mengherankan jika angka blogger terus melejit. Jumlah blogger Indonesia yang memiliki akun di Blogspot sekitar 247.000, di WordPress 125.000, blog service lainnya. Begitu juga merebaknya situs-situs yang memberi ruang untuk ekspresi diri seperti Friendster, Youtube, Facebook, MySpace dan masih banyak lagi.
Di Asia, friendster.com menjadi situs jaringan sosial terbesar yang dikunjungi rata-rata 32 juta pengguna internet setiap bulannya. Di Indonesia, Friendster memiliki lebih dari 8 juta pengguna terdaftar dan 4 juta pengunjung unik setiap bulan di friendster.com pada Februari 2008. Sementara 40 persen dari 25 juta pengguna internet yang ada di Indonesia memiliki akun Friendster.
Begitu pula, adanya fitur bahasa Indonesia di WordPress dan Blogspot, menunjukkan bahwa potensi blog sangat besar dan tumbuh terus. Data dari APJII menyebut sampai akhir 2007 pengguna internet di Indonesia mencapai 25 juta dengan tingkat pertumbuhan diperkirakan sekitar 39%. Di tahun 2012, jumlah pengguna internet di Indonesia akan sama besarnya dengan jumlah pengguna internet di Asia Tenggara. Itu menggambarkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah dengan sangat cepat.
Jika tarif internet maupun telekomunikasi makin murah, maka potensi pertumbuhannya akan makin tinggi, termasuk potensi pengguna mobile blogging, yang jumlahnya sebangun dengan penetrasi pengguna telepon seluler yang sudah mencapai lebih dari 100 juta. Dan inilah juga akan menjadi stimulan melejitnya citizen journalism dan citizen marketers.
Fenomena
Dalam masyarakat communters, pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi, kebutuhan untuk melakukan social networking dan mengekspresikan diri, antara lain yang memicu lahirnya citizen journalism dan citizen marketers. Kedua “profesi” di atas pada dasarnya memiliki kesamaan karakter, dimana keduanya melibatkan publik sebagai pelaku pribadi. Dalam konteks Citizen Journalism, publik bisa melakukan kegiatan jurnalistik: mengumpulkan bahan, menulis dan mempublikasikannya dalam blog pribadinya.
Ben McConnel dan Jackie Huba dalam buku berjudul “Citizen Marketers”, menyebutkan bahwa “Everyone is publisher; everyone is a broadcaster”. Dari blogging yang tujuannya ekspresi diri, berbagi ilmu dan pengalaman, curhat sampai kemudian terbentuklah komunitas (bisa amatir maupun prefesional). Ini bisa menjadi platform baru dalam “menjajakan” produk, brand, dan mengubah pola promosi tradisional yang selama ini ada. Karena mereka adalah buyers sekaligus sellers.
Sudah banyak komunitas maya yang berkembang dan memiliki posisi tawar yang cukup kuat bagi produsen. Sejumlah komunitas di dunia maya yang menjadi rujukan orang untuk bertanya tentang pelbagai produk: dari asuransi mobil yang bagus, merek oli yang bagus, sampai mencari referensi dari anggota lain tentang produk-produk gadget.
Dunia pemasaran dan komunikasi memang sudah mulai bergerak di area viral/virtual. Namun, ini tampaknya belum banyak disadari atau menjadi concern bagi pelaku bisnis di Indonesia Pemanfaatan kanal viral sebagai kanal penjualan, misalnya masih sangat terbatas sebagai displai produk.
Fenomena citizen marketers sangat memungkinkan untuk penetrasi produk dan bisa lebih fokus sesuai target yang dibidik. Hanya, memang dengan menjamurnya komunitas ini menuntut seorang pemasar yang juga paham bagaimana menjual produk di dunia itu. Bukan sekedar copy paste konsep tradisional yang ditransfer di viral, seperti yang kerap terjadi saat ini.
Begitu pula sebagai kanal komunikasi. Saat ini kerap muncul isu buruk tentang sebuah produk/layanan di dunia maya (yang paling sering di milis-milis). Namun, agak disayangkan jika perusahaan di Indonesia masih mengganggap enteng komplain melalui milis atau blog.
Padahal, komplain di dunia maya, bisa menuai kerugian yang lebih besar jika tak ditangani dengan benar. Karena, komplain di dunia maya, jika tidak ditangani secara serius, ibarat menyimpan bara yang tak nampak tapi juga tak padam dan sewaktu-waktu bisa membakar.
Dalam webnya: Nukman Luthfie mengatakan bahwa di dunia maya ada pencatat baik/Buruk mereka bernama Google, Yahoo, MSN dan lainnya. Apapun yang perusahaan lakukan di dunia web, entah baik entah buruk, akan dicatat Google dan kawan-kawan.
Seorang pelanggan, jika puas misalnya, dapat menulis di blog betapa bagusnya produk yang ia pakai. Sebaliknya, mereka yang tak puas bisa melakukan hal yang serupa, menulis kejelekan sebuah merek. Nah, di dunia maya, tulisan negatif gampang menyebar seperti virus, semudah dan secepat menekan kursor. Dan lebih berbahaya, semua yang termuat di Internet dicatat oleh Google, cs selama-lamanya.
Sekedar contoh komplain dan juga yang “tutorial” dibuat dalam format citizen journalism, “Jangan beli laptop XXXX” yang diposting seorang blogger. Atau dalam kasus yang berbeda, citizen journalist bisa juga menjadi tutor bagi sebuah produk, meskipun dia tidak memiliki ikatan bisnis dengan produsennya.
Citizen Marketers dan Citizen journalism, dalam beraktifitas, biasanya transparan dalam hal motivasi dan keinginannya. Bagi mereka adalah sangat penting untuk membangun dan memelihara kredibilitas. Karena mereka tidak mewakili sebuah lembaga media tertentu, namun pribadi. Ketika sebuah blog dipersepsi punya kredibilitas, maka blog tersebut kemudian menjadi referensi bagi banyak pihak, termasuk media tradisional pun kerap merujuk ke sana.
Di awal abad 21, blog sudah menjadi kekuatan yang signifikan dalam demokrasi gagasan/ide dan eksperesi individu. Mengutip dari Jeff Jarvis, editor New York Daily News, “We’re in the new era of seller beware, Now when you srew your customers, your customers can fight back and publish and organize”. Inilah tantangan sekaligus peluang bagi produsen dalam menggarap pasar yang tanpa batas di era yang juga tanpa batas ini.